Berakhirnya masa jabatan seorang Presiden di Indonesia harus dipastikan kesejahteraannya oleh negara. Seperti masa jabat Presiden RI saat ini yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi), dia akan mendapatkan uang pensiun yang dipastikan di dalam Undang-undang No. 7 tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden.
Nantinya, Jokowi bakal mendapatkan uang pensiun setara 100% dari gaji pokok terakhirnya. Gaji presiden saat ini tercatat mencapai Rp 30,2 juta atau enam kali lebih besar dari gaji tertinggi PNS di angka Rp 5,04 juta per bulan.
Tak hanya uang pensiun, Jokowi juga bakal mendapatkan pemberian rumah dari negara berlandaskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah bagi Mantan Presiden dan/atau Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Rumah yang didapat Jokowi nanti berada di Colomadu, Karanganyar, seluas 1.500 m2.
Namun begitu, kehidupan masa pensiun yang akan didapatkan Jokowi dan beberapa mantan Presiden RI lainnya tidak dirasakan oleh Presiden pertama Indonesia yakni Presiden Soekarno.
Kehidupan Soekarno diketahui seketika jungkir balik setelah tak menjabat. Seluruh kehormatan yang diperoleh sirna begitu saja.
Bagaimana bisa?
Masa-masa kemunduran Soekarno terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pamor Soekarno kala itu mulai menurun.
Ada kemarahan warga karena dia terkesan melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang jadi objek kekesalan. Puncaknya pun terjadi saat Jenderal Soeharto tampil ke permukaan bak pahlawan bermodalkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar).
Lewat surat itu, Soeharto bertindak lebih dari sekedar mengamankan ketertiban negara. Namun, juga turut serta menggoyangkan kursi jabatan Soekarno.
Hingga akhirnya tindakan Soeharto berujung pada peralihan kekuasaan secara resmi di sidang MPRS 12 Maret 1967. Pada sidang tersebut, pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak.
MPRS malah melantik Soeharto menjadi Presiden Indonesia ke-2. Sejak itulah, Soekarno menjalani hari-hari sebagai rakyat biasa. Hanya saja, titel rakyat biasa yang disandangnya agak berbeda.
Menurut Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Sukarno (2013), setelah berhenti menjabat Soekarno mendapat imbauan dari Presiden Soeharto untuk keluar dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967. Istana yang sebelumnya menjadi tempat kehormatan, kini harus ditinggalkan Soekarno.
Sebagai gantinya, Soekarno diperbolehkan tinggal di paviliun sekitar Istana Bogor. Namun, seiring waktu, dia tak betah dan minta pindah, hingga akhirnya menetap di Wisma Yasoo, Jakarta pada 1967.
Itupun dengan seizin dan pengawasan Soeharto. Bisa dikatakan, Soekarno saat itu adalah tahanan politik rezim Orde Baru.
Selama menjadi rakyat biasa, Soekarno hidup sendirian di rumah. Tak ada satupun keluarga yang menemani atau menjenguk.
Sekalipun bisa menjenguk, itu dilakukan dengan pengawasan dan izin ketat, serta dilakukan dalam waktu terbatas. Hanya ada tentara yang bertugas mengawasi dan menginterogasi Soekarno atas keterlibatannya dalam peristiwa G30S.
Menurut Asvi Warman Adam dalam buku Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? (2010), interogasi itu membuat Soekarno sangat depresi. Bagaimana tidak, tentara berulang kali menanyakan hal sama setiap harinya, terlebih selama diinterogasi itu Soekarno juga harus menahan sakit.
Diketahui, sebelum lengser, ayahanda Megawati itu memiliki penyakit ginjal yang cukup parah. Dengan kondisi kesehatan demikian, Soekarno harusnya mendapat pengobatan terbaik di masa pensiun.
Sayangnya, itu tidak terjadi. Pengobatan diberikan seadanya dari dokter tanpa bantuan penuh rumah sakit.
Menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September (2011), apa yang dialami oleh Soekarno di masa-masa tua sangat mengubah hidupnya. Dia menjadi pikun dan sering berbicara sendiri tanpa lawan.
Semakin hari kesehatannya pun makin turun. Hingga akhirnya, itu semua membuat Sukarno wafat pada 21 Juni 1970. Sepeninggal Bung Karno, hidup keluarga pun harus tertatih-tatih. Soekarno tidak sekaya yang dibayangkan banyak orang.
Dia tidak meninggalkan warisan dan mendapat uang pensiun dari negara. Sepengakuan putri ke-3 Soekarno, Rachmawati, uang pensiun yang harusnya diterima keluarga dari negara pun tidak kunjung ada.
“Jangankan menerima uang pensiun, perlindungan dan fasilitas-fasilitas sebagai mantan presiden sama sekali tidak kami terima dan rasakan,” kata Rachmawati, anak ke-3 Soekarno, dikutip dari buku Keluarga Besar Bung Karno.