Israel Menghadapi Ancaman Kekurangan Ekonomi, Menanggapi Boikot dengan Strategi Inovatif

by -379 Views

Sejak berdiri pada tahun 1948, Israel dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan oleh banyak pihak karena telah merebut tanah warga Palestina. Apalagi sepanjang keberadaannya, Israel kerap melakukan tindakan represif di luar batasan kemanusiaan.

Atas dasar ini, muncul perlawanan dari banyak pihak. Mereka tak hanya angkat senjata, tetapi juga melakukan pemboikotan. Pemboikotan ini berlangsung sejak Juli 2005 yang berada di bawah bendera gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS).

Tujuan BDS secara garis besar adalah untuk menekan Israel di ranah ekonomi-politik supaya pendudukan di Palestina bisa berakhir. Gerakan ini kemudian mendapat perhatian luas di seluruh dunia karena dianggap sebagai satu-satunya cara mudah untuk melawan Israel.

Namun, banyak analis menilai gerakan BDS tidak ada hasilnya. Sebab, sejak gerakan tersebut diluncurkan, penindasan di Palestina tidak berhenti.

Namun, hal ini bertentangan dengan sikap pemerintah Israel sendiri saat menyikapi gerakan BDS. Faktanya, Israel terbukti cukup takut dan berupaya melawan gerakan BDS dengan propaganda balasan.

Sejak gerakan BDS diluncurkan, awalnya pemerintah Israel dan Amerika Serikat, sebagai sekutu setia, tidak terlalu peduli. Mereka tidak melihat propaganda tersebut sebagai ancaman yang perlu diwaspadai.

Namun, seiring berjalannya waktu, propaganda BDS semakin meluas. BDS berhasil menjadi alat perlawanan terbaik yang mampu menjelek-jelekkan, mendiskreditkan, dan mencela Israel, Zionisme, Yahudi, dan Amerika Serikat.

Gerakan BDS telah berhasil menarik perhatian politik global dan berhasil memperlihatkan Israel dan pendukungnya sebagai negara yang layak mendapatkan delegitimasi dan isolasi di panggung dunia, meskipun hal ini tidak membawa dampak signifikan dalam pembentukan negara Palestina atau perubahan nyata dalam kehidupan warga sipil.

Di banyak negara, propaganda BDS mendapat perhatian khusus. Sudah banyak gerakan BDS lokal, termasuk di Indonesia, yang terafiliasi dengan BDS pusat. BDS mengklaim bahwa sudah banyak negara, kelompok, atau individu ternama yang ikut memboikot Israel.

Di Kuwait, pemerintah secara resmi memboikot 50 produk yang berkaitan dengan pendudukan Israel di Palestina. Pemerintah Chile juga memutuskan kerjasama dagang sebagai bentuk penindasan di Jalur Gaza.

Di Australia, pada 6 Januari 2022, televisi Australia memberikan tempat khusus bagi gerakan BDS dan propaganda pro-Palestina dengan menayangkan wawancara eksklusif bersama aktivis Palestina pro-BDS, yakni Jennine Khalik. Tayangan tersebut memojokkan Israel dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.

Berdasarkan hal-hal seperti itu, Israel mulai merasa bahwa gerakan BDS adalah ancaman yang perlu dihitung. Jika gerakan ini dibiarkan, maka akan menghancurkan Israel.

Oleh karena itu, pemerintah Israel meluncurkan proyek anti-BDS sejak 2010, dengan tujuan untuk menghancurkan delegitimasi BDS yang akan menyebar propaganda secara masif. Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk mencapai tujuan ini.

Ada dua cara yang dilakukan pemerintah Israel. Pertama, melalui propaganda melalui media. Dana besar digunakan untuk mendanai kampanye global melawan BDS, seperti konser dan produk jurnalistik yang membantu memperbaiki citra Israel.

Cara kedua adalah melalui lobi politik ke berbagai negara. Amerika Serikat menjadi negara yang paling menerima propaganda anti-BDS karena pemerintah dan mayoritas negara bagian secara resmi menentang gerakan ini.

Meskipun kedua belah pihak menyatakan kemenangannya, aktivis BDS menyebut bahwa upaya propaganda balasan anti-BDS tidak memiliki dampak besar. Dana pajak yang digunakan oleh pemerintah Israel untuk kepentingan citra masih kalah besar dengan persebaran informasi tentang penindasan di Palestina.