Soeharto, Dulu Puncak Kekuasaan, Menemui Kehidupan Kesepian Setelah Pensiun

by -909 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Setelah tidak lagi menjabat, kehidupan masa pensiun seorang presiden menjadi perhatian. Banyak orang ingin tahu aktivitas sehari-hari orang yang paling berkuasa ketika menjadi warga biasa. Di Indonesia, terdapat banyak contohnya.

Misalnya, Presiden SBY, aktif melukis dan membangun klub voli setelah pensiun. Sementara Presiden Megawati masih aktif dalam kegiatan politik. Lalu, Presiden Jokowi pernah mengatakan akan aktif dalam kegiatan lingkungan setelah pensiun pada tahun 2024.

Bagaimana dengan masa pensiun Presiden Soeharto? Apa aktivitas sehari-hari orang yang paling berkuasa selama 32 tahun tersebut? Berikut ceritanya.

Setelah membacakan pidato pengunduran diri pada Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto langsung pulang ke kediamannya di Jl. Cendana No.8. Rumah tersebut diselimuti oleh kesedihan. Dia disambut dengan kesunyian dan sesekali terdengar isak tangis keluarga yang tidak rela melihat bapak atau kakek mereka mundur.

Namun, Soeharto tetap tegar. Dia telah menerima kenyataan dan tidak ingin keluarganya tenggelam dalam kesedihan. Baginya, keputusan untuk mundur adalah yang terbaik. Dia berpikir bahwa jika tetap bertahan, situasinya akan semakin buruk dan korban akan lebih banyak jatuh.

“Alhamdulillah. Berakhir sudah beban yang saya pikul selama puluhan tahun,” kata Soeharto sembari mengangkat kedua tangannya, seperti yang dikutip dari Tempo Edisi Khusus Soeharto, Setelah Dia Pergi (2008).

Sejak saat itu, Soeharto resmi menjadi warga biasa. Sayangnya, keputusannya untuk mundur membawa konsekuensi besar dalam hidupnya. Gelombang kebebasan era reformasi membuat Soeharto dan keluarganya menjadi sasaran hujatan publik.

Banyak masyarakat menumpahkan emosinya terhadap 32 tahun kepemimpinan Soeharto, terutama terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi selama berkuasa. Sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) menyebutkan bahwa sejak tahun 1999, banyak spanduk yang menuntut pengusutan kasus tersebut.

Di tengah keramaian tersebut, Soeharto memilih untuk menjaga jarak. Seperti yang dikutip dari Tempo Edisi Khusus Soeharto, Setelah Dia Pergi (2008), Soeharto lebih banyak menghabiskan masa pensiun bersama keluarga di Jl. Cendana.

Dia hanya menerima beberapa teman dan pejabat, biasanya hanya saat Lebaran atau perayaan ulang tahun. Namun, ketika ada pertemuan dengan Jenderal Besar tersebut, dia lebih memilih untuk diam dan tidak banyak berbicara.

Pernah suatu hari Yusril Ihza Mahendra, mantan penulis pidato Soeharto dan Menteri Sekretaris Negara pada era SBY, mengunjungi Jl. Cendana. Dia melihat Soeharto dengan ekspresi kasihan. Rumahnya sepi dan Soeharto duduk sendirian di kursi goyang.

“Saat itu saya merasa kasihan. Rumahnya sepi tanpa ada orang lain. Pak Harto duduk di kursi goyang. Setelah sekian lama memimpin Indonesia, dia duduk sendirian di kursi goyang, begitulah mungkin,” kata Yusril kepada CNN Indonesia pada 2018.

Menurut Yusril, Presiden kedua Republik Indonesia itu juga mengaku kekurangan uang untuk merenovasi rumah yang sudah rusak. Oleh karena itu, Soeharto meminta “jatah” kenang-kenangan dari negara, yaitu rumah senilai Rp 20 miliar. Namun, Soeharto menolak pemberian rumah dan hanya meminta uang untuk keperluan renovasi.

Selain harus berurusan dengan kesepian, Soeharto juga harus melawan sakit yang dideritanya di masa tuanya. Diketahui bahwa Soeharto menderita stroke sejak tahun 1999. Dia sering bolak-balik ke rumah sakit untuk pengobatan penyakit jantung dan pencernaan, bahkan harus menjalani operasi.

Pada akhirnya, masa tua Soeharto yang dulu terhormat dan berkuasa harus berakhir pada 27 Januari 2008 saat beliau meninggal dunia.