Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri. Sidang praperadilan tersebut terkait sah tidaknya penetapan tersangka Firli dalam kasus dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
Adapun putusan sidang praperadilan dibacakan oleh hakim tunggal Imelda Herawati di PN Jaksel, Selasa 19 Desember 2023. “Menyatakan praperadilan pemohon (Firli) tidak dapat diterima,” kata Imelda dalam putusannya.
Menurut pakar hukum pidana yang juga akademisi Prof Suparji Ahmad, putusan pengadilan tersebut harus dihormati oleh semua pihak. Namun dalam hal ini menurut dia, secara substantif tidak sesuai nilai-nilai keadilan kepastian dan kemanfaatan, karena tidak sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti.
“Fakta bahwa laporan polisi tidak ditindaklanjuti dengan penyelidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi langsung keluar Surat Perintah Penyidikan (sprindik), semestinya dipertimbangkan,” kata Suparji.
Guru besar Universitas Al Azhar Indonesia ini mengatakan, laporan polisi yang langsung ditindaklanjuti dengan sprindik pada tanggal yang sama yaitu 9 Oktober 2023, menunjukkan tidak adanya penyelidikan dan adanya kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka.
“Hakim seharusnya mempertimbangkan fakta-fakta bahwa saksi-saksi yang diperiksa pada tahapan penyidikan, tidak ada satupun saksi yang menyatakan mengetahui, melihat, atau mendengar adanya pemerasan, penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji atau penyuapan oleh SYL kepada FB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU Tipikor,” paparnya.
Selain itu, kata Suparji, patut dipertimbangkan bahwa bukti berupa foto yang dianggap sebagai petunjuk, tidak dapat dikualifikasi sebagai alat bukti yang sah, sebab selain pengambilan foto sebagai bagian dari alat bukti elektronik tidak dilakukan secara sah dan tidak membuktikan adanya pemerasan, gratifikasi atau suap, tetapi hanya menunjukkan SYL dan temannya menemui FB.
“Secara keseluruhan, alat bukti dalam menetapkan Tersangka tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor: 21/PUU-XII/2014, yang pada pokoknya menyatakan alat bukti harus bersifat kuantitatif dan kualitatif, tidak dipenuhi dalam menetapkan Tersangka, sehingga penetapan Tersangka tidak sah secara prosedural,” urainya.
Ditambahkannya, tidak ada satupun alat bukti yang menunjukkan adanya actus rea maupun mens rea sebagaimana dimaksud Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor.
“Adanya resi penukaran valuta asing tidak dapat disimpulkan telah terjadinya pemerasan, gratifikasi atau suap, hal ini dapat dilihat dari jenis dan seri valas yang tidak menunjukkan terjadinya perbuatan tersebut, karena waktu perolehan valas tersebut sebelum penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada Kementerian Pertanian tahun 2020 s/d 2023,” terangnya.
Dengan demikian, menurut Prof Suparji, penetapan tersangka FB atas dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU Tipikor Jo. Pasal 65 KUHP berdasarkan S.Tap/325/XI/RES.3.3./Ditreskrimsus Tanggal 22 November 2023 seharusnya tidak sah dan tidak berdasar atas hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Suparji menegaskan bahwa ditolaknya permohonan praperadilan yang diajukan FB, telah mencederai rasa keadilan karena tidak sesuai dengan fakta persidangan dan alat bukti yang mengemuka dalam persidangan. “Demi keadilan, maka FB dapat mengajukan praperadilan yang kedua,” ujar Suparji.
Pewarta: Aris Danu
Editor: Mahrus Sholih