Mewujudkan Ekonomi Konstitusi: Solusi Paradoks Indonesia Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka

by -941 Views
Mewujudkan Ekonomi Konstitusi: Solusi Paradoks Indonesia Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka

Mewujudkan Ekonomi Konstitusi

Jika anda pernah belajar ilmu ekonomi, anda pasti tahu bahwa ada banyak aliran ekonomi di dunia ini. Ada aliran ekonomi yang disebut neoklasik, pasar bebas, dan neoliberal. Ketiga aliran ini sering dikaitkan dengan aliran ekonomi Adam Smith. Selain itu, ada juga aliran sosialis, atau aliran ekonomi Karl Marx. Dalam sejarah, ada yang mengatakan, “Indonesia harus memilih A”. Ada juga yang bilang, “sebaiknya kita pakai B”. Perselisihan ini masih ada sampai sekarang. Namun menurut saya, mengapa kita harus memilih? Kita bisa mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Gabungan terbaik dari kedua aliran ini disebut oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan oleh ayah saya Prof. Sumitro sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila, yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar ’45, khususnya di Pasal 33. Kita juga bisa menyebutnya sebagai ‘ekonomi konstitusi’.

Setelah tahun 1998, kita keliru

Saya ingin mengingatkan bahwa setelah tahun 1998, kita sebagai bangsa telah melupakan jati diri kita. Kita meninggalkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, kita meninggalkan ekonomi Pancasila. Inilah sebabnya mengapa saya telah berjuang selama belasan tahun ini. Mengingatkan, membangkitkan kesadaran, dan mengingatkan ajaran-ajaran Bung Karno: berdiri di atas kaki kita sendiri. Hal ini menurut saya sangat fundamental namun seringkali kita lupakan. Kita terlena dengan konsep globalisasi, percaya bahwa tidak ada lagi batas antarnegara, borderless world. Namun cobalah untuk pergi ke Amerika. Anda tidak akan bisa masuk tanpa visa. Terkadang orang Indonesia tidak diberikan visa. Ini berarti batas tetap ada. Bahkan belakangan ini, banyak orang yang ingin ke Australia lewat laut kita, namun kapal-kapal perang Australia menghalangi. Jadi, meskipun kita sekarang banyak berdagang, batas tetap ada. Oleh karena itu, kita harus memiliki kekuatan sendiri. Ingatlah, nasionalisme bukanlah hal yang buruk. Nasionalisme adalah cinta pada bangsa sendiri. Jika bukan kita yang mencintai bangsa kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Apakah kita harus meminta belas kasihan dari bangsa lain? Nasionalisme bukanlah hal yang hina. Setiap bangsa memperjuangkan kepentingan nasional mereka. Mengapa bangsa Indonesia tidak boleh melindungi kepentingan kita? Mengapa petani kita tidak boleh dibantu oleh negara? Contoh, di bidang pertanian, petani Amerika dibantu oleh negaranya. Petani Australia dibantu oleh negaranya. Petani Vietnam dibantu oleh negaranya. Petani Thailand dibantu oleh negaranya. Jadi, jika kita mengatakan, “kita ingin kepentingan nasional kita dijaga”, terkadang kita dianggap sebagai “anti asing”. Padahal sebenarnya tidak demikian. Kita tidak boleh anti asing. Dunia ini semakin sempit, dan tradisi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka. Kita bersahabat, namun kita juga harus kuat dan mandiri. Kemampuan dan kemandirian sebuah negara dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri dapat diukur dengan sebuah indeks yang disebut indeks kompleksitas ekonomi. Professor Ricardo Hausmann dari Harvard University menemukan korelasi kuat antara kesejahteraan suatu negara dengan kemandirian dan kemampuan negara tersebut dalam memproduksi berbagai barang di dalam negeri. Oleh karena itu, resep IMF pada tahun 1998 yang menghancurkan banyak industri kita adalah sangat keliru dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kita harus segera memproduksi segala hal yang bisa kita buat di dalam negeri sendiri. Kita harus memiliki industri kapal, mobil, pangan, sandang, senjata, serta industri yang memproses barang-barang intermediate. Dengan cara ini, kompleksitas ekonomi kita akan meningkat dan Rupiah bisa menguat.

Tujuan Kita: Ekonomi Konstitusi, Bukan Sosialisme

Sosialisme murni, meskipun bagus dalam teorinya, sebenarnya tidak dapat dijalankan. Dalam sosialisme murni, terdapat prinsip kesetaraan yang sebenarnya tidak dapat terwujud. Jika dijalankan, orang tidak akan mau bekerja keras. Dalam sosialisme murni, orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja keras akan mendapatkan gaji yang sama. Orang pintar dan yang kurang pintar akan mendapatkan gaji yang sama. Orang yang mau belajar dan yang tidak mau belajar akan mendapatkan gaji yang sama. Bahkan dalam utopia sosialis, pada akhirnya uang tidak boleh ada. Jadi bagaimana bisa dijalankan? Ini hanyalah impian. Sulit untuk direalisasikan, dan terbukti negara-negara yang mencoba menerapkan sistem sosialis murni selalu gagal. Oleh karena itu, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir benar. Yang terbaik adalah ekonomi campuran. Ayah saya selalu bercerita bahwa istilah Prof. Sumitro adalah ekonomi campuran. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan yang terbaik dari sosialisme. Jika kita melihat sejarah Indonesia, pernah ada keputusan untuk menerapkan sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi kita harus didasarkan pada semangat kekeluargaan. Intinya, yang kuat harus membantu yang lemah. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan. Prinsip bahwa “yang kuat harus selalu menang, yang lemah terserah” bukanlah prinsip yang benar. Kapitalisme murni, seperti prinsip bahwa keserakahan bagus (greed is good), hanya akan mengakibatkan penguatan yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Hal ini yang terjadi sekarang di Indonesia, dan juga di negara-negara Barat. Di Barat, sudah banyak yang mempertanyakan sistem ekonomi yang sekarang. Dulu banyak yang percaya pada teori trickle down effect, namun kenyataannya adalah trickle up effect. Mereka yang kaya akan semakin kaya, sedangkan mereka yang miskin akan semakin miskin. Kita harus mengambil jalan tengah dalam penerapan sistem ekonomi. Mazhab ekonomi campuran, atau yang dikenal dengan “jalan ketiga” menurut mantan PM Inggris Tony Blair, atau bisa juga disebut sebagai “ekonomi kerakyatan” menurut Bung Karno dan Bung Hatta. Saat ini, jika kita melihat Vietnam, seringkali terlihat mural di pinggir jalan yang bertuliskan “economy for the people, not people for the economy”. Ekonomi harus untuk rakyat, bukan sebaliknya. Orientasi kita harus mengarah pada hal tersebut. Jika kita sekarang menyadari bahwa kita keliru, kita harus berani untuk berubah arah. Kita harus kembali ke landasan yang telah diletakkan oleh Para Pendiri Bangsa kita, yaitu Undang-Undang Dasar ’45. Saya berpendapat demikian karena Pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar ’45 sudah sangat jelas: bahwa ekonomi kita bukanlah ekonomi pasar bebas, namun didasarkan pada semangat kekeluargaan. Selain itu, ayat 2 dari Pasal 33 juga menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara” dan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat”. Inilah kerangka ekonomi yang seharusnya kita jalankan – ekonomi konstitusi. Jika kita konsisten dalam menjalankannya, seperti halnya Tiongkok yang konsisten menjalankan konstitusi mereka, maka aliran kekayaan alam kita ke luar negeri yang sekarang terjadi bisa dihentikan.

Paham Ekonomi Konstitusi: Bebas Boleh, Tetapi Harus Waspada

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, ekonomi kita harus merupakan ekonomi tengah, ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Kita tidak boleh sepenuhnya kapitalis, dan juga tidak boleh sepenuhnya sosialis. Kita harus mengambil yang terbaik dari kapitalisme. Kapitalisme mendorong inovasi, kewirausahaan, dan investasi. Namun, kapitalisme harus seimbang dengan perlindungan terhadap rakyat banyak. Jika dipilih kapitalisme murni, yaitu melepaskan segala hal ke pasar, maka hasilnya akan seperti yang terjadi sekarang. Dalam ekonomi bebas, tidak ada perlindungan, dan tidak ada harapan bagi mereka yang miskin. Di sisi lain, sosialis memastikan adanya jaring pengaman bagi yang paling miskin. Pemerintah, pada titik-titik tertentu memang harus melakukan intervensi. Setiap negara yang ingin mengurangi kemiskinan harus memiliki pemerintah yang aktif, yang berani turun tangan membantu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, karena mereka tidak memiliki daya upaya. Jika tidak ada bantuan, mereka akan terus kekurangan kemampuan, pendidikan, keterampilan, bahkan gizi yang cukup. Namun, kami tidak bisa hanya membagikan uang tanpa memberikan pendidikan, pelatihan, manajemen, dan pendampingan. Diperlukan strategi yang jelas. Inilah yang disebut dengan nation building, atau pembangunan negara. Jika kita masih dalam tahap nation building, pemerintah harus aktif dalam membimbing rakyat. Paham Ekonomi Konstitusi: Pemerintah Harus Menjadi Pelopor

Jika kita mengikuti paham ekonomi konstitusi, maka dalam hal pembangunan, pertanian, pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan, pemerintah harus bersikap proaktif. Pemerintah harus menjadi pelopor dalam membina ekonomi, menyelamatkan negara, membangun kemakmuran, dan mengurangi kemiskinan. Pemerintah tidak boleh hanya bertindak sebagai wasit. Inilah perbedaan antara paham neoliberal dan paham ekonomi konstitusi. Paham neoliberal berpendapat bahwa semakin sedikit campur tangan pemerintah, semakin baik. Pemerintah harus hanya berperan sebagai pengawas. Namun kita harus menyadari bahwa banyak negara Barat sudah jauh lebih maju. Pendapatan per kapita di negara maju sudah mencapai lebih dari USD 30.000, bahkan USD 50.000. Sedangkan kita masih berada di kisaran USD 4.000. Bagi para penyokong paham neoliberal seperti Milton Friedman, Von Hayek, Thatcher, mereka berpendapat bahwa “semakin sedikit pemerintah, semakin baik”. Pemerintah harus berada di belakang. Pemerintah tidak boleh terlibat dalam proses ekonomi. Namun jika kita mengikuti paham ini, siapa yang akan membangun bendungan? Apakah swasta akan mau membangun bendungan? Siapa yang akan membangun terminal, pelabuhan, terutama di daerah terpencil? Swasta mungkin tidak tertarik…

Jadi, intinya adalah kita harus mengambil yang terbaik dari kedua aliran ekonomi tersebut. Kita tidak boleh mengadopsi kapitalisme murni, dan juga tidak boleh mengadopsi sosialis murni. Kita harus memiliki ekonomi campuran, ekonomi konstitusi. Kapitalisme mendorong inovasi dan kewirausahaan, namun harus seimbang dengan perlindungan bagi rakyat banyak. Kita harus proaktif dalam pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Pemerintah harus ikut serta sebagai pelopor dalam membangun bangsa dan negara. Itulah konsep ekonomi konstitusi yang seharusnya diterapkan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Source link