Warga Lingkungan Cungking melakukan tradisi Resik Lawon, Minggu (25/2/2024). Air perasan kain kafan leluhur diyakini untuk tolak bala. (Foto: Muhammad Nurul Yaqin/suaraindonesia.co.id).
SUARA INDONESIA, BANYUWANGI – Puluhan warga di Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi, memadati area Sungai Krambangan, Minggu (25/2/2024) pagi.
Mereka melakukan prosesi tradisi turun temurun “Resik Lawon” atau membersihkan kain kafan milik leluhurnya.
Kain kafan yang dibersihkan adalah kain penutup petilasan Ki Wongso Karyo atau biasa dikenal dengan Buyut Cungking.
Tradisi Resik Lawon ini digelar di Balai Tajuk lingkungan setempat, yang berdekatan langsung dengan makam Buyut Cungking.
Dalam proses upacara adat itu, warga berbagi tugas, ada yang membersihkan baju nenek moyangnya di sungai, ada pula yang menyiapkan hidangan untuk para tamu di Balai Tajuk.
Setelah kain lawon dicuci hingga bersih, warga kembali membawanya ke Balai Tajuk dengan cara dipikul bersama-sama secara bergantian yang harus ditempuh dengan berjalanan kaki.
Sesampainya di Balai Tajuk, kain kafan kembali dibilas satu persatu menggunakan dua wadah air bersih.
Uniknya, air bekas bilasan itu kemudian dibagikan ke warga untuk diminum. Air perasan ini dipercaya warga setempat bisa menghindarkan dari mara bahaya jika meminumnya.
Tak hanya itu, saat proses resik lawon di sungai sebagian warga ada yang bahkan mandi dari bekas perasan kain kafan leluhur tersebut. Warga meyakini air perasan ini juga bisa menghindarkan dari penyakit.
Selepas dibilas kembali di Balai Tajuk satu persatu kain kafan kain dijemur pada tali tampar di ketinggian kurang lebih sekitar 4 meter.
Menurut sesepuh Cungking, Jam’i, tradisi Resik Lawon ini rutin digelar setiap tahun menjelang bulan Ramadhan.
Resik Lawon dilakukan setiap bulan Ruwah dalam kalender Jawa bertepatan pada tanggal 12-15 Ruwah yang jatuh pada hari Kamis atau Minggu dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.
“Resik Lawon sudah menjadi tradisi turun temurun yang dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Untuk tahun perisnya kita belum tahu, yang jelas sejak saya kecil sudah ikut melakukan tradisi ini,” kata pria berusia 67 tahun ini.
Jam’i mengaku air perasan lawon tak hanya diminum dan mandi, masyarakat juga membawa botol untuk membawa pulang air perasan itu. Konon katanya, air itu juga bisa menyuburkan tanaman di sawah.
“Hanya disiramkan ke sawah. Dengan harapan tanaman mereka bisa tumbuh subur dan panen yang melimpah,” ungkapnya.
Lewat Tradisi Resik Lawon, masyarakat setempat terus menghargai jasa nenek moyangnya yang telah babat alas di Cungking. Makanya tradisi ini terus dijaga dan tetal eksis sampai saat ini.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Imam Hairon |