TNI Sudirman: Military Leadership as a Grand General

by -1552 Views

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Komandan pertama TNI, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan mulia bagi generasi selanjutnya prajurit TNI: sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang murni.

Beliau meninggalkan TNI sebuah landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin prajurit yang sejati.

Keberaniannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sekolah yang dijalankan oleh Muhammadiyah di Solo, yang kala itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk pendudukan Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan orang Indonesia untuk membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, pasukan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir pada tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon sukarelawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah terkenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang lurus. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan kompi dan komandan peleton. Jepang melatih mereka di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie, dan banyak nama-nama lain yang kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik baru yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah merencanakan untuk mundur, unit Sudirman terus mengganggu pasukan Inggris sehingga mereka terpaksa pergi. Dalam persepsi pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat juang TNI. Beliau diakui telah mendorong dan mengejar pasukan Inggris keluar dari Magelang serta memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan berarti untuk memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapat respek dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Komandan pertama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Perwira paling senior Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau berikrar setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk mempertahankan kesatuan dan kedamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun sepakat gencatan senjata yang dicapai di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman dari belakang Signor Mussolini ke Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidakberesan tindakan Belanda melalui sarana diplomatik dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Komandan pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kondisi kesehatannya sangat buruk, dan beliau hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan serbuan Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota karena kondisi medis yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk melawan dan hanya menawarkan sedikit perlawanan ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat diketahui bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan para prajuritnya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan akhirnya TNI mendapatkan kendali atas situasi.

Dengan berbagai keputusan teladan yang beliau lakukan, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi berikutnya TNI warisan yang tangguh dan mulia, yakni tradisi kepahlawanan dalam bentuknya yang murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan untuk para pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap teguh, dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau menyadari bahwa kemungkinan besar beliau dapat terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya seperti itu. Namun, beliau memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan kepercayaan bawahan dan rakyat dalam menghadapi serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika pada saat itu, Jenderal Sudirman juga ditahan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin prajurit yang sejati. Perbuatannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau meneguhkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link