Characteristics of Genuine Military Leaders

by -90 Views
Characteristics of Genuine Military Leaders

Para mentor saya dari generasi ‘45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat pada protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pengembangan maupun untuk militer. Bangkitnya bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai suku, ras, suku bangsa, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kebangkitan gerakan kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Tetapi banyak yang memilih untuk mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan sehingga kita akhirnya bisa bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang kita kenal sebagai generasi ’45. Mereka adalah ‘generasi pejuang’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung telah memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ’45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya adalah bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Sehari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, beliau memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan sekaligus menjabat sebagai ketuanya. Saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi menjumpainya dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian juga dengan dua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ’45. Dua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari pangkalan tentara Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk komandannya dan dua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Doktor Ilmu Ekonomi, yang diperoleh dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara ini untuk mendukung pasukan Indonesia. Beliau juga berperan dalam mencetak uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, beliau menjadi asisten pribadi kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya dilahirkan pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah berkunjung ke Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana dua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek pada hari Minggu. Kakek selalu memasang tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah benda yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, ransel, dan helm yang dia simpan. Bahkan seragam mereka masih terlipat rapi, dan sepatu militer mereka yang diletakkan di ujung tempat tidur mereka selalu bersinar. Dengan halus, kakek nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan besar yang dilakukan anak-anak mereka untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk meningkatkan Indonesia menjadi bangsa yang independen, terhormat, dan adil, dengan warga negara yang sejahtera dan bahagia yang setara dengan bangsa lain. Adalah atmosfir inilah yang, secara tidak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Seringkali disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi saat itu. Generasi ’45 naik daun karena mereka tidak mau diperlakukan lebih rendah daripada anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka dulu sering mendengar frase verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat. Bahkan pada tahun 1978, ketika saya menjabat sebagai Komandan Kompi dalam Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frase ini di kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Terukir di dinding marmer di samping kolam renang. Tetapi pada saat itu, tulisan itu tertutup oleh lumut hijau. Rasa ingin tahu saya mendorong saya men

Terima kasih telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menulis ulang artikel ini dalam bahasa Indonesia. Semoga ulasan ini sesuai dengan keinginan Anda. Jika ada yang perlu diperbaiki atau ditambahkan, jangan ragu untuk memberitahu saya. Terima kasih.

Source link