The Leadership Qualities of My Senior Colleagues (Part 2)

by -132 Views
The Leadership Qualities of My Senior Colleagues (Part 2)

LIEUTENANT GENERAL TNI (PENSIUN) HIMAWAN SOETANTO Salah satu nilai yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus berada di tengah-tengah anak buahnya mulai dari bangun pagi hingga tidur. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas pakaian dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan anak buah saya. Pernah, saya menemukan bahwa pakaian dalam putih para prajurit berubah menjadi cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur merupakan sumber praktik korupsi terbesar. Coba bayangkan, satu kilogram daging diatur untuk 16 orang. Di TNI, ini dikenal sebagai ‘daging pisau cukur‘ karena dagingnya setipis pisau cukur. Sungguh tragis. Itu beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah ketika saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pelatihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Bahkan bisa sedikit berbahasa Jepang, yang ia pelajari selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca buku yang rajin. ‘Pemimpin yang baik harus membaca dengan tekun,’ seperti pepatah terkenal yang mengatakan begitu. Rumahnya dipenuhi dengan buku. Setiap kali bertemu dengannya, kami selalu membahas buku. Beliau terkadang bertanya apakah saya sudah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, sejarawan strategi militer asal Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilannya yang rapi. Wajahnya selalu penuh senyuman. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Beliau memiliki pengalaman pertempuran yang panjang, dan itu terlihat dari sikapnya. Hal ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki banyak pengalaman pertempuran. Mereka cenderung dingin dan menjaga jarak dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin mematuhi aturan. Istilah kami di TNI untuk tipe figur seperti ini adalah berpikiran PUD atau perwira PUD. PUD adalah singkatan dari Peraturan Umum Dalam. Sementara itu, para pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya di lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat ada artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan unit dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing unit. Ini berarti bahwa seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan peraturan berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari subuh hingga senja. Komandan harus memantau kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, sampai pakaian dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Pernah suatu kali, saya menemukan bahwa pakaian dalam prajurit saya sudah tidak putih lagi, melainkan sudah berwarna cokelat. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber dari banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Hal ini menjadi terkenal di TNI sebagai ‘daging cukur’, daging setipis pisau cukur. Tragis. Itu adalah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto. Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karir gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di dunia militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiunnya. Beliau adalah salah satu mentori saya. Beberapa hari sebelum wafatnya, saya mengunjunginya di rumah sakit. Anak-anaknya memberitahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin bertemu dengan saya. ‘Di mana si jenderal bertempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud sebagai “jenderal bertempur”. Beberapa dari mereka mencoba memastikan apakah yang dimaksud adalah Prabowo. Beliau menganggukkan kepala. Saya terenyuh mendengar cerita itu. Oleh karena itu, ketika saya datang untuk mengunjunginya, saya tegak berdiri dan memberi hormat padanya. Saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berbicara dalam bahasa Inggris, saya katakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal sejati, Tuan!’ Air mata pun berlinang. Pada saat itu, beliau sudah tidak dapat berbicara lagi. Itu adalah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Saya merasa sangat dihormati bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu saya di momen terakhirnya.

Letnan Jenderal TNI (PENSIUN) SARWO EDHIE WIBOWO Sarwo Edhie bersifat karismatik. Beliau gagah, tampan, selalu berpakaian rapi. Beliau dikenal sebagai seseorang yang memimpin dari barisan depan. Bahkan sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau terlibat di lapangan. Beliau menjadi idola para siswa, para pemuda, dan idolanya kami, perwira muda dan kadet. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering berbagi pengalaman. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat untuk tidak menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku berjudul Hidupku Untuk Bangsa dan Negara. Nilai itu ditamakannya dalam kami sebagai Kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggaan pada warisan nenek moyang kita. Itulah yang Pak Sarwo tanamkan dalam kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), namun beliau sudah sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga merupakan sahabat dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada momen krusial pada Oktober 1965 selama Gerakan 30S/PKI. Beliau adalah tokoh karismatik. Beliau gagah, tampan, selalu terlihat rapi. Beliau juga dikenal sebagai seorang komandan yang memimpin operasi dari barisan depan. Sebagai komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS), beliau tetap terlibat di lapangan, sehingga beliau juga menjadi idola para kadet muda. Sebagai mentor saya di AKABRI, beliau sering menceritakan pengalaman-pengalaman. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat ketekunan dan patriotisme. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku Untuk Bangsa dan Negara’. Nilai itu diketahuinya dalam kami sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta tanah air dan kebanggan pada warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang Pak Sarwo Edhie tanamkan dalam kami. Setelah pensiun dari dinas aktif, beliau sempat singkat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk waktu yang sebentar, beliau juga menjadi Ketua Badan Pengawas Internalisasi dan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat bagaimana beliau tetap mempertahankan sikapnya sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang dikenal akan kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan kekayaan yang banyak setelah wafat. Tidak disengaja, dalam perjalanan hidupnya, beliau memberikan ketiga putrinya kepada lulusan AKMIL. Yang tertua kepada Kolonel Infanteri Hadi Utomo, dari angkatan tahun 1970; yang kedua kepada Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, dari angkatan tahun 1973, yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia keenam; dan yang termuda kepada Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga mengenal ketiga perwira ini dengan baik.

LEADER TNI (PENSIUN) ABDUL HARIS NASUTION Saya merasa beruntung bisa memiliki kesempatan luar biasa yang tidak banyak orang alami di negeri ini. Itu adalah berbicara langsung dengan salah satu tokoh generasi ’45, tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan kita: Pak Nas. Saya merasa seperti menjadi seorang murid dari seorang pelaku sejarah. Beliau sering berbagi pengalaman, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak lagi dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti halnya para tokoh generasi ’45 lainnya.

Source link