Pensiunan Jenderal Besar TNI H. M. Suharto

by -72 Views

Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari ia tiba di kantor pukul 08:00 pagi tepat. Ciri khasnya adalah tulisan rapi dan ingatan kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia juga seorang pembaca yang rajin. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak mau berbicara dengan orang yang marah. Itulah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya seorang kapten dan sudah dua kali melakukan operasi di Timor Timur. Pertama adalah pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Pleton Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Kedua adalah pada tahun 1978, ketika saya adalah Komandan Kompi Parasut dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah kompi pasukan serbu langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Lalu saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan KOSTRAD Linud Resimen Infanteri 18 sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan KOSTRAD Resimen Infanteri 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantor pukul 08:00 pagi tepat. Pada pukul 01:00 siang, dia akan berada di rumah untuk makan siang. Di siang hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada jam 19:00 dari Senin sampai Jumat, dia menerima tamu. Dia makan malam pada pukul 21:00. Lalu pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak memiliki kamar mandi dalam. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan berkas di meja kerjanya yang bisa mencapai 40-50 sentimeter tingginya. Saya mendengar dari ajudan-ajudannya bahwa setidaknya ada 40 berkas dan surat yang ia baca dan tandatangani setiap malam dari hari Minggu sampai Jumat. Hanya pada Sabtu malam tidak mungkin menemukannya di meja kerjanya. Seringkali saya melihat dia bekerja sampai jam 01:00 atau bahkan jam 02:00 pagi. Sementara, dia akan bangun pada jam 04:30 pagi atau 05:00 paling lambat. Kadang-kadang dia hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Ini berlangsung selama beberapa dekade. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan teliti dia. Kualitas khasnya yang lain adalah tulisan rapi dan ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemuinya. Lalu dia menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan rinci pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai Komandan Regu, Komandan Pleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik-praktik serta masalah-masalah granuler. Dia bahkan dapat mengingat tingkat pendidikan dari setiap mantan bawahannya. Saya tercengang mendengarnya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan Angkatan Darat dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga masalah politik luar negeri, dan yang tidak lagi memerintahkan batalyon-batalyonnya selama puluhan tahun, masih bisa dengan jelas mengingat pembentukan, perekrutan, dan pelatihan unit militer di tingkat regu, pleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal itu membuat Batalyon 328 sangat dapat diandalkan dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Juga khas baginya adalah bahwa dia sangat memahami filosofi Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto secara luas mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran kuno dan filosofi Jawa. Hal ini bisa dimengerti karena seluruh pendidikannya terjadi di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk, Yogyakarta. Sebagian besar bacaaannya berasal dari para sarjana Jawa dari abad-abad yang lalu. Filosofi yang paling sering diajarkannya adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; ditambah dengan ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang diterbitkannya, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Itu adalah kumpulan ajaran, pengajaran, dan pepatah. Buku itu sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya slogan semata. Bagi banyak orang, mereka menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia di kehidupan ini. Hal ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara kebijaksanaan yang dibawa selama berabad-abad. Oleh karena itu, orang yang mengikuti ajaran-ajaran tersebut dapat memanfaatkan kebijaksanaan para leluhur kita, para pendahulu kita, dan para tetua kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian saat Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu anak buah saya bahwa Pak Harto menghubungi saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima TNI memanggil seseorang sebelum mereka melaksanakan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu saya dan bertanya apakah benar saya akan melaksanakan operasi besok. Saya menjawab ya. Lalu dia bercerita kepada saya, ‘Saya hanya memiliki tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Pegang erat di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut memegangi kedua tanganku di kepala saya sebagai lambang berkat, seperti yang selalu dilakukannya kepada anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang terkasihnya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, kamar Perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberi tahu mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberi tahu mereka bahwa, untuk sebentar, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena bukannya menerima dana, saya hanya diberi tiga nasihat. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungkan tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Panglima yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiatif dan pelaksana dari Serangan Umum 1 Maret yang berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam di akhir tahun 1948. Bahkan, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menumpas pemberontakan G30S/PKI tahun 1965. Sebagai Panglima dengan pengalaman tempur yang luas, nasehat Pak Harto tentu harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link