Diplomacy in the Prabowo Era: Assessing Prof. Sumitro Djojohadikusumo’s Legacy and Insights

by -190 Views
Diplomacy in the Prabowo Era: Assessing Prof. Sumitro Djojohadikusumo’s Legacy and Insights

Apa yang Akan Terjadi dengan Diplomasi Luar Negeri Indonesia di Era Presiden Prabowo Subianto?

Sebagai putra Sumitro Djojohadikusumo, banyak yang mengantisipasi bahwa banyak strategi diplomasi Prof. Sumitro akan diwariskan dan dilaksanakan oleh putranya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pendekatan ini melibatkan pemanfaatan kekuatan naratif dan hubungan kekerabatan untuk membangun soft power Indonesia.

Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia yang prominent, tidak banyak yang mengetahui bahwa Prof. Sumitro juga adalah seorang diplomat yang luar biasa.

Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomasi Prof. Sumitro tertuang dalam sebuah artikel New York Times.

Plea Sumitro pada usia 31 tahun kepada Pemerintah Amerika Serikat, yang dipublikasikan dalam New York Times pada tanggal 21 Desember 1948, berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Prof. Sumitro menulis:

“Kampanye militer Belanda saat ini sayang sekali telah membawa pada pemahaman mengerikan yang telah lama ada di pikiran semua orang yang baik hati. Dalam sejarah modern bangsa-bangsa hanya tindakan tercela Belanda ini tanpa peringatan bisa dibandingkan dengan tusukan di belakang Signor Mussolini pada tahun 1940 dan serangan tiba-tiba Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941.”

“Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia selain menjalani kehidupan sendiri dan berusaha sebaik mungkin sebagai sebuah negara yang mandiri dan berdaulat.”

“Kami dengan hormat namun segera meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan pemberian dollar Amerika kepada Belanda dalam Rencana Pemulihan Eropa atau lainnya.”

Pada saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, menjabat sebagai Kepala Delegasi Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah Perang Dunia II, Belanda essentially bangkrut dan bergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang digunakan untuk mendanai operasi militer di Indonesia.

Sumitro, saat itu baru berusia 31 tahun, diberikan tugas oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisi kolonialnya di Indonesia.

Sumitro membujuk pejabat Amerika di Washington dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan kepada Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Berhentinya bantuan memaksa Belanda untuk bernegosiasi dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Usia muda Sumitro dan kecerdasannya dalam narasi dan negosiasi, serta keterampilan jaringan internasionalnya, membuat Presiden Sukarno menugaskannya dengan tugas yang begitu penting.

Kesuksesan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran kunci dalam menjamin kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi.

Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada usia 33 tahun.

@Catatan Dirgayuza

Source link