Leadership of the Indonesian National Leader Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Agung)

by -45 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu pergi berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Kadang-kadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogok kepada raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang tegas dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkan untuk mengusir Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sudah cukup untuk memastikan tempatnya dalam sejarah.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak tunduk pada tawaran yang dibuat oleh VOC meskipun menarik bagi dirinya secara pribadi.

Indonesia telah merasakan ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugal, Belanda, Inggris, Prancis, dan Jepang telah pada waktu yang berbeda menjajah Indonesia. Prancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon selama era Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa sebelum kemerdekaan, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan paksa. Mereka menghambat rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Kadang-kadang, yang harus mereka lakukan hanya memberikan hadiah atau memberi sogok kepada raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda hari ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang dapat melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk menguasai kepulauan ini.

Hadiah-hadiah seperti itu tidak berharga dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan ketidaktahuan beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji-janji keuntungan ekonomi dan perhiasan. Banyak dari para pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena hasutan, berita palsu, dan upaya untuk membagi dan memerintah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang tegas dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun dia tidak berhasil membebaskan Batavia dari kekuasaan Belanda, keteguhannya dan semangat untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa lain cukup memastikan tempatnya dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran mereka menggiurkannya.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Dia adalah Sultan keempat Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.

Beliau adalah seorang sultan dan panglima yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kerajaannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang besar. Sultan Agung dipuja di Jawa atas perjuangannya untuk menjaga pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Di awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, dia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung memperoleh gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung untuk berkolaborasi, namun dia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang yang berkepanjangan melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak untuk berkolaborasi dengan VOC.

Sultan Agung mencoba membangun hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh Pulau Jawa pernah berada di bawah kontrol Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Pada waktu itu, Banten telah diserap secara budaya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil dikuasai oleh Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi pada saat itu.

Sultan Agung berhasil mengubah Mataram menjadi kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya yang mulia, dan pengembangan ekonomi, terutama dengan memperkenalkan sistem pertanian.

Source link