Indonesian National Leader Soetomo (Bung Tomo) and His Leadership

by -37 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menjawab dengan teriakan yang menggelegar: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada bulan November 1945. Kabarnya, pidato ini disiarkan terus menerus hingga pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keahlian Bung Tomo sebagai seorang orator, Indonesia tidak akan menjadi bangsa merdeka seperti sekarang.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya bertempur dalam pertempuran sengit di sekitar Surabaya, yang kini dikenal sebagai Kota Pahlawan.

Ketika membaca tentang rencana sejarah pada masa itu, seseorang tidak bisa tidak merasa kagum dan bangga.

Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih minim persenjataan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Pada saat itu, British Army mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata mereka dan meninggalkan kota, British Army akan menghancurkannya dengan kekuatan luar biasa dari tank, kapal perang, dan pesawat mereka.

Kita bisa membayangkan beratnya pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh pasukan yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, para leluhur kita, dalam usia sangat muda, menolak untuk terintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang angkuh.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk pada mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh patut kita hormati dan hargai. Negara-negara yang merendahkan kita sebagai lemah, ketinggalan, dan malas menyaksikan bagaimana bangsa Indonesia tidak menyerah melalui ancaman, intimidasi, dan kehadiran kekuatan bersenjata asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, British Army menghujani Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan kerugian itu lebih dari 40.000 jiwa. Namun arek-arek Suroboyo, para pejuang kita, menolak untuk menyerah, meskipun mengalami kerugian yang besar. Meskipun mayat berserakan di jalan-jalan dan parit dan sungai berubah menjadi merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, para pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertempur dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya pernah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi figur sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak orang yang menyebutnya dengan penuh kasih, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Pada masa mudanya, ia adalah seorang jurnalis lepas dengan surat kabar Soeara Oemoem harian, Ekspres harian, Pembela Rakyat mingguan, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada bulan Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarkan orasinya yang penuh semangat untuk memperjuangkan dan mempertahankan Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat dirasakan dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada November 1945. Kabarnya, pidato ini bahkan disiarkan terus menerus, dan tidak berhenti sampai pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara, rakyat di seluruh Indonesia, khususnya orang Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebarkan pamflet dengan ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tetapkan, kami disuruh menyerahkan senjata yang kami rebut dari Tentara Jepang. Mereka menyuruh kita datang kepada mereka dengan tangan terangkat.

Mereka memerintahkan kita untuk mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kami telah menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia di Surabaya, pemuda Maluku, pemuda Sulawesi, pemuda Bali, pemuda Kalimantan, pemuda Sumatra, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan pemuda Surabaya sendiri, dalam pasukan mereka masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak tergoyahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu mengusir musuh dari mana-mana.

Saudara-saudara, musuh kita telah menggunakan taktik licik. Mereka mengundang Presiden kita dan pemimpin lainnya ke Surabaya, mengharapkan kita tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Namun di saat yang sama, mereka memperkuat kekuatan mereka. Dan sekarang ketika mereka kuat, inilah yang terjadi.

Saudara-saudara. Kita semua, orang Indonesia di Surabaya, akan menerima tantangan British Army. Dan apabila pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban dari rakyat Indonesia, jawaban dari pemuda Surabaya, dengarkanlah dengan seksama.

Inilah jawaban kami. Inilah jawaban dari rakyat Surabaya. Inilah jawaban dari pemuda-pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Hai, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kami membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian menyuruh kami membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kami di depan kalian. Kalian menyuruh kami meletakkan senjata yang kami rebut dari Tentara Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian mengatakan akan menggempur kami dengan semua kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:

Selama kami, banteng-banteng Indonesia ini masih memiliki darah merah yang bisa kami gunakan untuk membuat sehelai kain merah putih, kami tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah pada siapapun. Orang Surabaya, bersiaplah menghadapi situasi yang genting ini! Namun sekali lagi saya ingatkan: Janganlah menembak peluru pertama. Hanya saat kita ditembaklah kita akan menembak balik. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kami benar-benar rakyat merdeka.

Dan bagi kita semua, saudara-saudara, lebih baik kita dihancurkan daripada dijajah. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk bebas atau mati!

Dan kami percaya, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah berada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link