AJI Jember Kritik Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual yang Dinilai Tidak Sesuai dengan Perspektif Anak dan Korban

by -71 Views
AJI Jember Kritik Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual yang Dinilai Tidak Sesuai dengan Perspektif Anak dan Korban
Berita
AJI Jember Soroti Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual, Dinilai Belum Ramah Anak dan Berperspektif Korban

Suasana diskusi yang diadakan oleh AJI Jember di salah satu kafe di Kecamatan Sumbersari, Sabtu 28 September 2024. (Foto: Fathur Rozi/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, JEMBER – Praktik pemberitaan kasus kekerasan seksual di media massa dinilai masih belum ramah anak dan belum memiliki perspektif yang baik terhadap korban.

Dari beberapa berita yang baru-baru ini ditayangkan mengenai kasus perkosaan siswi SMP di Kabupaten Jember, contohnya, ada beberapa media yang masih menampilkan foto keluarga dekat korban. Hal ini membuat identitas korban menjadi rentan.

Meskipun, berdasarkan kode etik jurnalistik, media massa seharusnya tidak mengungkapkan identitas korban kejahatan seksual. Baik itu pelaku maupun korban yang masih di bawah umur.

Sebagai contoh, mengungkapkan semua data dan informasi tentang korban sehingga memudahkan orang lain untuk melacak. Penampilan foto keluarga dekat dalam pemberitaan kasus perkosaan di Jember, dinilai dapat membuat identitas korban terlacak.

Tidak hanya itu, dalam menjalankan tugasnya, jurnalis juga harus bersikap profesional dengan menghormati hak privasi, serta menghormati pengalaman traumatis korban dalam penyajian berita.

“Misalnya, menggunakan inisial nama korban, itu harus dilakukan. Walaupun korban meminta untuk disebutkan nama lengkapnya. Tujuannya adalah untuk melindungi diri,” jelas Rosnida Sari, Majelis Etik dan Peradilan Organisasi (MEPO) AJI Jember, ketika menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh AJI Jember di salah satu kafe di Kecamatan Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Sabtu 28 September 2024.

Di samping itu, dalam pemberitaan kasus kejahatan sosial, hal-hal seperti nama, alamat, usia, atau keluarga korban dan pelaku yang dekat dengan korban, juga perlu dirahasiakan. “Karena hal tersebut juga berpotensi mengungkap identitas korban,” tambah dosen Universitas Jember (Unej) tersebut.

Menurutnya, dalam pemberitaan tidak diperbolehkan menggunakan bahasa yang bersifat menyalahkan atau menghakimi korban. Selain itu, penggunaan kata ‘korban’ sebaiknya diganti dengan ‘penyintas’. “Kecuali korban belum melewati masa sulit tersebut,” tambahnya.

Dari sudut pandang lain, Rosnida menegaskan, yang tidak kalah penting dalam pemberitaan yang berkaitan dengan kekerasan seksual (KS), harus mendapat izin dari korban. “Jika korban masih anak-anak, maka perlu izin dari pihak keluarga, apakah boleh atau tidaknya untuk diliput media,” tegasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Fathur Rozi (Magang)
Editor : Mahrus Sholih