Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Pesan Sakral untuk Merawat Bumi dan Generasi Mendatang

by -198 Views
Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Pesan Sakral untuk Merawat Bumi dan Generasi Mendatang

Ribuan Langkah Menuju Doa Bersama di Gunung Tangkuban Parahu

Ketika pagi menyapa lereng Gunung Tangkuban Parahu, ribuan orang dari seluruh Nusantara berkumpul dengan penuh harapan dalam perayaan Ngertakeun Bumi Lamba. Di tengah kabut sejuk Gunung Tangkuban Parahu, tradisi turun-temurun ini kembali membuktikan bahwa budaya mampu menautkan keberagaman ke dalam ruang batin bersama.

Ngertakeun Bumi Lamba adalah ritual adat Sunda yang sarat makna, berakar pada kearifan lokal untuk memuliakan bumi. Dalam bahasa Sunda, “ngertakeun” berarti merawat dan menjaga, sedangkan “bumi lamba” merujuk pada tanah luas sebagai simbol semesta. Tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan Sunda kuno, lalu dipopulerkan kembali pada 1964 oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata di Gunung Tangkuban Parahu.

Mantra, Karinding, dan Harmoni Lintas Budaya

Begitu langkah-langkah para peserta berpadu di tanah gunung, gema karinding bergetar, diterima angin dan dedaunan. Denting angklung, tabuhan Minahasa, hingga genta Bali menyatu dalam irama yang hanya dapat diterjemahkan oleh hati. Semua menyatu tanpa batas suku, adat, dan agama.

Air mata haru jatuh dalam sunyi, menyatukan para pendekar, guru, dan peserta dalam kesadaran bahwa di hadapan Sang Pencipta, semua kecil. Di sinilah mereka menemukan makna terbesar: kesatuan dalam keberagaman, cinta dalam kesederhanaan.

Ritual yang Menyentuh Batin dan Alam

Tak hanya seremoni, Ngertakeun Bumi Lamba menjadi refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan bumi. Prosesi ngaremokeun (penyucian diri), doa bersama, dan persembahan di Kawah Ratu menjadi ungkapan syukur dan harapan agar bumi tetap lestari bagi generasi mendatang.

Pesan Mendalam dari Para Tokoh

Bapak Wiratno menyatakan, “Puncak kebudayaan adalah saat manusia sanggup mewariskan bumi yang indah kepada generasi yang belum lahir.”
Andy Utama menegaskan, “Janganlah kita berhitung dengan semesta. Jika semesta mulai berhitung dengan kita, kita akan menyesal.”
Mayjen Rido menyebut upacara ini sebagai “pengadilan batin” untuk membangkitkan kesadaran spiritual.

Panglima Dayak berkata lantang, “Alam tidak butuh manusia, manusialah yang tergantung padanya.” Sementara Panglima Minahasa berpesan, “Gunung adalah penjaga. Di sinilah Bhineka Tunggal Ika mewujud. Di sinilah Pancasila hadir. Merdeka!”

Dari Janji Menjadi Tindakan Nyata

Nilai Ngertakeun Bumi Lamba diterjemahkan dalam aksi nyata oleh Arista Montana dan Yayasan Paseban. Di kawasan Megamendung, bagian dari ekosistem Gunung Gede-Pangrango, mereka telah menanam lebih dari 15.000 pohon puspa, rasamala, damar, bambu, dan lainnya.

Melalui penanaman pohon, konservasi burung, dan restorasi hutan, mereka membuktikan bahwa janji pada bumi bukan sekadar diucapkan, melainkan ditanam di tanah dan hati.

Baca juga:
Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata

Pekikan Taariu dan Pesan untuk Masa Depan

Menjelang akhir prosesi, pekikan “Taariu! Taariu! Taariu!” dari Panglima Dayak menggema, menembus langit dan menegaskan janji mereka: bumi akan dijaga dengan cinta dan kesadaran.

Ritual ini bukan hanya tradisi tahunan, melainkan pesan abadi. Siapa pun yang hadir pulang membawa amanah untuk menjaga, merawat, dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang dibisikkan oleh leluhur—dalam doa, karinding, genta, dan langkah hening lintas agama, etnis, dan keyakinan.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam