Hilangnya Harta Rp 3.000 T Pemimpin Muslim Ini, AS Dikaitkan Sebagai Dalang Utama

by -343 Views

Ternyata pernah ada penguasa di suatu negara di dunia yang sempat dinobatkan sebagai pemimpin terkaya di dunia. Hartanya mencapai US$ 200 miliar atau Rp 3.000 Triliun.

Dengan nominal segitu, harta kekayaannya melebihi Raja Arab Saudi, Raja Thailand, dan Sultan Brunei. Namun, pundi-pundi uang yang diraihnya itu lenyap dalam sekejap usai negaranya diserang Amerika Serikat.

Bagaimana bisa? Siapa sosok penguasa itu?

Penguasa itu adalah Muammar Khadafi atau Muammar Gaddafi (ejaan lain: Moammar Ghadafi). Khadafi memimpin Libya sejak 16 Januari 1970. Sejak berkuasa dia dikenal sebagai pemimpin paling berani menentang hegemoni Barat.

Dia berupaya menjalankan syariat Islam dan nasionalisme Arab. Atas dasar inilah, tulis Alison Pargeter dalam Libya: The Rise and Fall of Qaddafi (2012), Khadafi berani mengusir militer AS dan Inggris, sekaligus menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.

Perusahaan asing itu kemudian diatur sepenuhnya oleh negara. Swasta hanya diperbolehkan mengurusi sektor perminyakan, perbankan, dan asuransi.

Namun, perlahan kebijakan Khadafi di bidang perusahaan juga merambah pada perebutan paksa perusahaan perorangan. Jadi, tiap individu Libya tak bisa memiliki perusahaan. Semuanya dikelola negara.

Pada titik inilah Khadafi selama 41 tahun berkuasa konon menyelewengkan kekuasaan untuk menambah harta. Mengutip The New York Times, setelah mengambilalih perusahaan orang lain itu, dia berupaya mengendalikan penuh seluruh perusahaan.

Caranya dengan memasukkan keluarga dan rekan politik ke bagian manajerial. Dari pengendalian itulah dia mendapat cuan banyak.

Semua keuntungan mengalir deras ke kantong pribadi Khadafi. Dan dia menggunakan uang itu untuk memenuhi hasrat hidup bermewah-mewahannya. Dia diketahui kerap membeli properti mahal di luar negeri dan mengadakan pesta super mewah.

Bahkan, dari temuan Forbes, ia dinobatkan sebagai “pria US$ 200 miliar”. Dengan harta segitu, media AS tersebut menobatkannya sebagai salah satu pemimpin dunia terkaya setelah Raja Arab Saudi, Raja Thailand, dan Sultan Brunei Darussalam.

Sayang, tindakan korupsi tersebut dilakukan di kala rakyat sedang susah.

Dalam pewartaan BBC, selama dipimpin Khadafi, masyarakat Libya berada dalam cengkraman otoritarianisme dan kemiskinan.

Sebesar 13% warga menganggur dan 16% keluarga berada di kondisi miskin. Warga juga tidak bebas menyuarakan pendapat. Pada titik inilah, masyarakat mulai kehilangan kesabaran. Beruntung, kegelisahan masyarakat itu dibarengi oleh kemarahan Barat terhadap kepemimpinan Khadafi.

Gelombang Arab Spring sejak 2010 yang menuntut perubahan dan kedatangan AS berserta NATO menggoyahkan kursi kekuasaan penguasa Libya itu. Dari dalam negeri aksi demonstrasi besar-besaran terjadi.

Sedangkan, dari luar negeri, AS bersiap menyerang Libya atas nama demokrasi. Hasilnya jelas membuat posisi Khadafi kian terpojok. Puncaknya terjadi pada Oktober 2011.

Kala itu, rombongan Khadafi yang sedang menuju Kota Misrata untuk kabur diserang pesawat NATO. Tercatat lebih dari 100 orang tewas, tetapi Khadafi berhasil selamat dan bersembunyi di got.

Meski demikian, persembunyian ini tak berlangsung lama. Beberapa jam setelahnya, dia ditemukan dan berhasil dibunuh massa tepat pada 20 Oktober 2011.

Sejak itulah, Libya memasuki era baru. Alih-alih merasakan perdamaian dan demokrasi yang diimpikan penentang Khadafi, kini Libya justru berada dalam pusaran Perang Sipil. Seluruh hartanya pun tak jelas ke mana.