Mengapa Bisnis Telco Dapat Menjadi Pembawa Perubahan dalam Industri?

by -1277 Views

Industri telekomunikasi memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang, serta peningkatan jangkauan dan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, guru besar bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, perkembangan ekonomi saat ini didorong oleh aktivitas ekonomi digital yang membutuhkan dukungan dari industri telekomunikasi. Di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi digital tertinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional.

Namun, pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi ini menghadapi tantangan yang besar. Salah satu kendalanya adalah tingginya beban regulatory cost. Jika pemerintah tidak bisa mengurangi beban regulatory cost ini, peringkat Indonesia di Harvard Business Review bisa turun ke tingkat nadir yaitu watch out. Saat ini Indonesia berada pada posisi break out di Harvard Business Review, memiliki potensi pertumbuhan ekonomi digital yang besar namun masih menghadapi kendala.

Poppy mengatakan bahwa Indonesia masih belum mampu naik kelas karena faktor literasi digital, kesenjangan digital di masyarakat, infrastruktur telekomunikasi, kompleksitas regulasi di Indonesia dalam penggelaran infrastruktur telekomunikasi, dan tingginya regulatory cost. Jika regulatory cost ini tinggi, hal ini akan mempengaruhi peringkat Indonesia. Jika pemerintah tidak mengatasi masalah ini, Indonesia bisa turun peringkat menjadi watch out seperti negara-negara di Afrika.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi tidak puas dengan kualitas internet Indonesia yang hanya berada di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN. Poppy menilai salah satu penyebab rendahnya kualitas internet di Indonesia adalah tingginya regulatory cost operator telekomunikasi. Tingginya regulatory cost ini akan melemahkan daya saing industri telekomunikasi nasional dan perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data dari 4 operator besar (Tsel, Isat, XL, Smart) di Indonesia, terlihat tren kenaikan beban hak penggunaan (BHP) frekuensi setiap tahunnya dari tahun 2013-2022 sebesar 12,10% terhadap pendapatan. Sedangkan komposisi beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler cenderung meningkat setiap tahunnya dari 6,71% pada tahun 2013 menjadi 11,40% pada tahun 2022. Kenaikan ini disebabkan oleh formula perhitungan BHP frekuensi yang mengacu pada angka inflasi.

Berdasarkan benchmark dari Coleago Consulting, komposisi biaya BHP frekuensi yang berada di bawah 5% akan menjadikan industri tumbuh berkelanjutan. Jika komposisi regulatory cost tersebut di atas 10%, maka tidak akan mendukung keberlanjutan industri.

Poppy mengatakan bahwa jika Indonesia tidak melakukan pembenahan fundamental di industri telekomunikasi, Indonesia akan kalah dalam daya saing dengan negara-negara di regional lain seperti Vietnam. Salah satu faktor yang mempengaruhi minat investasi asing adalah kehandalan infrastruktur telekomunikasi.

Untuk mengurangi regulatory cost, Poppy menyarankan pemerintah memberikan insentif seperti keringanan BHP frekuensi dan kemudahan perizinan seperti pendirian tower dan penggelaran fiber optic. Negara lain seperti India juga memberikan insentif bagi industri telekomunikasi. Setelah gagalnya lelang frekuensi di beberapa pita pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah India menetapkan BHP frekuensi sebesar 0% bagi perusahaan yang mengembangkan jaringan 5G. Langkah ini berdampak pada tingkat keberhasilan industri telekomunikasi dan penetrasi 5G yang lebih cepat.

Poppy menyarankan pemerintah Indonesia meniru negara lain yang memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama 3 tahun bagi perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru seperti 5G. Sebab penggunaan teknologi 5G masih terbatas pada sektor tertentu saja.

Dengan memberikan insentif BHP frekuensi, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kualitas internet di Indonesia dan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.