Transforming Cooperatives into Instruments for Achieving Equality and Empowerment

by -904 Views

Oleh Prabowo Subianto, kutipan dari buku “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 211-212, edisi cetak keempat.

Koperasi pada dasarnya tentang menyamakan peluang. Mereka ada untuk memberdayakan mereka yang kurang beruntung, oleh karena itu revitalisasi mereka dalam ekonomi kita sangat penting.

Namun, ini tidak berarti bahwa kita harus memperkuat koperasi dengan merugikan sektor swasta. Jauh dari itu. Doktrin ekonomi kita mendorong persaingan: biarkan sektor swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan koperasi bersaing untuk kemajuan.

Tetapi koperasi yang bertugas mendukung atau memberdayakan mereka yang kurang beruntung. Prinsip ini bukan tentang menciptakan persaingan tetapi tentang maju bersama.

Oleh karena itu, sektor swasta, BUMN, dan koperasi sama-sama memiliki peran dalam mendorong ekonomi negara kita. Masing-masing, dengan kekuatan uniknya, dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Pendekatan ini telah berhasil dilakukan di negara seperti Korea, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan China.

Dahulu, koperasi Indonesia adalah dambaan banyak negara, yang datang untuk belajar dari inisiatif kami seperti BIMAS dan BULOG, serta perjalanan kami menuju swasembada.

Saya sangat yakin bahwa dengan kepemimpinan yang tepat, koperasi di Indonesia dapat berkembang dan menjadi alat yang kuat untuk kesetaraan.

Ya, pasti akan ada tantangan dan kegagalan.

Misalnya, mari bicara tentang produksi dan distribusi pupuk. Pupuk diproduksi oleh pabrik-pabrik milik negara, oleh rakyat, bukan? Uang rakyat membangun pabrik-pabrik itu. Modal kerja adalah uang rakyat. Tetapi, begitu pupuk diproduksi dan siap didistribusikan, akhirnya berada di tangan distributor swasta. Pada era Presiden Suharto, era Orde Baru, hal ini tidak demikian. Distribusi pupuk ditangani oleh koperasi, koperasi unit desa (KUD).

Karena beberapa melihat koperasi tidak sejalan dengan prinsip pasar bebas, mereka digantikan oleh perusahaan swasta. Dengan privatisasi, distribusi jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan terbatas (PT), membawa masuk skenario yang terlalu akrab di Indonesia, bukan? Nepotisme menjadi sorotan.

Jadi, kita perlu kembali ke hal mendasar, ke prinsip yang benar. Ini milik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, didanai oleh anggaran negara – uang rakyat; distribusinya juga harus melalui rakyat, melalui koperasi dan pemerintah jika perlu.

Selain sebagai alat untuk kesetaraan, koperasi juga dapat mendorong swasembada kita. Tetapi ini membutuhkan upaya bersama, pemikiran, dan komitmen serius. Kita tidak boleh menganggap ini sebagai bisnis seperti biasa. Ini bukan tugas biasa. Kita harus mendekatinya sebagai upaya nasional.

Source link